SEKOLAH MILIK SIAPA ???
Tulisan ini
mempertanyakan sekolah ini milik siapa ?
Sebagian besar
masyarakat tentu akan menjawab ‘sekolah hanya milik orang kaya’ yang memiliki
banyak uang, sehingga mampu membayar biaya sekolah yang sangat mahal. Namun
saat ini saya tidak akan membicarakan sekolah mahal yang membuat warga miskin
tidak mampu menikamati pendidikan.
Tulisan ini akan
menjelaskan bahwa meskipun orang kaya dan miskin diberi kesempatan untuk
sekolah disekolah yang sama, namun keberadaan siswa miskin ternyata hanya
mendapatkan sedikit apresiasi selama proses pembelajaran. Sekolah hanya
memperhatikan kepentingan dan kebutuhan orang-orang kaya dan masalah ini hampir
tidak menjadi perhatian banyak orang.
Beberapa buku pelajaran
SD yang beredar di pasaran dapat menjadi contoh nyata bahwa banyak kehidupan
orang kaya yang dijadikan contoh untuk memperjelas materi pelajaran. Kehidupan
orang kaya selalu ditampilkan dalam tulisan maupun gambar. Dalam buku pelajaran
sering kita melihatkalimat seperti “Ayah sedang membaca koran”, “Budi
bertamasya ke Kebun Binatang”, “Ayahku bekerja di kantor”, “setiap hari libur
Aku membantu Ayah mencuci mobil”, dan sebagainya.
Penggnaam kata ‘Aku’
pada beberapa contoh kalimat diatas seolah memposisikan bahwa siswa yang
membaca berasal dari keluarga kaya. Siswa dari keluarga miskin tentu saja tidak
memiliki kebiasaan mencuci mobil setiap hari libur. Ayah mereka juga jarang
yang membaca koran di rumah, contoh tersebut jelas menunjukan bahwa buku
pelajaran sekolah lebih banyak digunakan untuk megenalkan aktivitas orang kaya.
Lalu, dimana kehidupan orang miskin dalam buku tersebut ? disadari atau tidak,
ternyata kehidupan orang miskin hanya menjadi bahan cerita saja, mereka
dijadikan objek dianggap sebagai “orang lain”. Sebagai contoh, gambar atau
cerita mengenai petani, sedikit diceritakan dari sudut pandang orang pertama
(menggunakan lkata “Aku”). Petani hampir selalu diposisikan sebagai orang
ketiga.
Dalam buku pelajaran
sedikit dijumpai kalimat yang berbunyi “Ayah pulang dari Sawah”, “Ayah ku
berangkat ke Sawah”, “setiap hari ayahku mencangkul di sawah”, “Ayahku bekerja
sebagai pengembala sapi”, “setiap hari Ayahku harus mencari rumput”, “sawahku
sangat subur dan hijau karena ayahku rajin bekerja di sawah”, dan sebagainya.
Gambar “tukang becak”
misalnya, tidak pernah digunakan untuk mencertakan kehidupan keluarga. Kalmat
“Ayahku adalah seorang tukang becak”, “Ayahku bekerja sebagai pemulung’’, atau
“Ayahku seorang pedagang asongan”, jarang dijumpai dalam buku pelajaran.
“pekerjaan Ayah” dihubungkan dengan pekerjaan kantoran, dilengkapi dengan
gambar seorang yang mengenakan dasi, sepatu dan membawa koper.
Beberapa buku memuat gambar Ayah yang berangkat ke kantor
mengendarai mobil. Lalu dimana “Anak Petani”, “Anak tkang becak” dan “Anak
pemulung” berada ? mereka dianggap berada di luar sana, jauh dari sekolah, atau
“mereka tidak mungkin berada di ruang-ruang kelas ini, sehingga tidak perlu
diceritakan. Kehidupan orang miskin selah hanya diposisikan sebagai sebuah
hiburan, tontonan, bahan cerita, bahan puisi dan cukup diceritakan saja. Budaya
mereka hanya jadi pelengkap dan penghias buku pelajaran.maka panaslah kita
mempertanyakan kembali, sekolah ini sebenarya milik siapa ? Jika sekolah untuk
semua golongan, mengapa materi peljaran di sekolah banyak menggambarkan
kehidupan orang kaya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar