Jumat, 02 Oktober 2015

SEKOLAH MILIK SIAPA ???

Tulisan ini mempertanyakan sekolah ini milik siapa ?
Sebagian besar masyarakat tentu akan menjawab ‘sekolah hanya milik orang kaya’ yang memiliki banyak uang, sehingga mampu membayar biaya sekolah yang sangat mahal. Namun saat ini saya tidak akan membicarakan sekolah mahal yang membuat warga miskin tidak mampu menikamati pendidikan.
Tulisan ini akan menjelaskan bahwa meskipun orang kaya dan miskin diberi kesempatan untuk sekolah disekolah yang sama, namun keberadaan siswa miskin ternyata hanya mendapatkan sedikit apresiasi selama proses pembelajaran. Sekolah hanya memperhatikan kepentingan dan kebutuhan orang-orang kaya dan masalah ini hampir tidak menjadi perhatian banyak orang.
Beberapa buku pelajaran SD yang beredar di pasaran dapat menjadi contoh nyata bahwa banyak kehidupan orang kaya yang dijadikan contoh untuk memperjelas materi pelajaran. Kehidupan orang kaya selalu ditampilkan dalam tulisan maupun gambar. Dalam buku pelajaran sering kita melihatkalimat seperti “Ayah sedang membaca koran”, “Budi bertamasya ke Kebun Binatang”, “Ayahku bekerja di kantor”, “setiap hari libur Aku membantu Ayah mencuci mobil”, dan sebagainya. 

Penggnaam kata ‘Aku’ pada beberapa contoh kalimat diatas seolah memposisikan bahwa siswa yang membaca berasal dari keluarga kaya. Siswa dari keluarga miskin tentu saja tidak memiliki kebiasaan mencuci mobil setiap hari libur. Ayah mereka juga jarang yang membaca koran di rumah, contoh tersebut jelas menunjukan bahwa buku pelajaran sekolah lebih banyak digunakan untuk megenalkan aktivitas orang kaya. Lalu, dimana kehidupan orang miskin dalam buku tersebut ? disadari atau tidak, ternyata kehidupan orang miskin hanya menjadi bahan cerita saja, mereka dijadikan objek dianggap sebagai “orang lain”. Sebagai contoh, gambar atau cerita mengenai petani, sedikit diceritakan dari sudut pandang orang pertama (menggunakan lkata “Aku”). Petani hampir selalu diposisikan sebagai orang ketiga.
Dalam buku pelajaran sedikit dijumpai kalimat yang berbunyi “Ayah pulang dari Sawah”, “Ayah ku berangkat ke Sawah”, “setiap hari ayahku mencangkul di sawah”, “Ayahku bekerja sebagai pengembala sapi”, “setiap hari Ayahku harus mencari rumput”, “sawahku sangat subur dan hijau karena ayahku rajin bekerja di sawah”, dan sebagainya.
Gambar “tukang becak” misalnya, tidak pernah digunakan untuk mencertakan kehidupan keluarga. Kalmat “Ayahku adalah seorang tukang becak”, “Ayahku bekerja sebagai pemulung’’, atau “Ayahku seorang pedagang asongan”, jarang dijumpai dalam buku pelajaran. “pekerjaan Ayah” dihubungkan dengan pekerjaan kantoran, dilengkapi dengan gambar seorang yang mengenakan dasi, sepatu dan membawa koper.

Beberapa buku memuat gambar Ayah yang berangkat ke kantor mengendarai mobil. Lalu dimana “Anak Petani”, “Anak tkang becak” dan “Anak pemulung” berada ? mereka dianggap berada di luar sana, jauh dari sekolah, atau “mereka tidak mungkin berada di ruang-ruang kelas ini, sehingga tidak perlu diceritakan. Kehidupan orang miskin selah hanya diposisikan sebagai sebuah hiburan, tontonan, bahan cerita, bahan puisi dan cukup diceritakan saja. Budaya mereka hanya jadi pelengkap dan penghias buku pelajaran.maka panaslah kita mempertanyakan kembali, sekolah ini sebenarya milik siapa ? Jika sekolah untuk semua golongan, mengapa materi peljaran di sekolah banyak menggambarkan kehidupan orang kaya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar